ADAB MEMBERIKAN KRITIK DAN NASEHAT

Bismillahirahmaanirrahiim

Islam telah mengajarkan bagaimana adab menasehati, adab mengritisi orang lain, baik yang bersifat khusus maupun umum. Rasullulloh dan para sahabatnya telah mengamalkan kaidah menasehati ini dengan baik, sebagaimana kita lihat dalam sejarah, banyak sekali kisah-kisah nasehat yang untuk sekarang ini sudah jarang terjadi atau sudah banyak ditinggalkan oleh Umat Islam.

Sesungguhnya kesalahan dan kekhilafan merupakan sifat yang melekat pada diri anak cucu Adam. Oleh karenanya, setiap orang bisa saja dikritik dan dibantah.
Tidak ada seorang pun yang ma’shum selain para Nabi dan Rasul.
Meski demikian, terdapat beberapa ketentuan dan etika yang patut diperhatikan oleh setiap pihak yang ingin mengritik dan membantah seorang yang keliru dan menyelisihi kebenaran.

Berikut berbagai ketentuan dan etika tersebut

1. MENASEHATI DENGAN CARA YANG MA'RUF
Islam membagi adab menasehati secara proporsional, cara menasehati orang jahil dengan menasehati orang berilmu tentu berbeda, menasehati kekeliruan umum yang kecil dengan menasehati kekeliruan khusus yang berhubungan dengan penyimpangan/kesalahan dan maksiat juga tentu berbeda, begitu pula menasehati orang yang tidak bersalah dengan orang yang bersalah pun juga berbeda, yang semua itu hendaknya dilakukan dengan cara yang ma'ruf menurut syariat, bukan menurut kita, hal ini agar nasehat bisa ditegakkan dengan adil dan tidak berlebih-lebihan.
“Berkatalah kamu berdua kepadanya dengan lemah lembut agar ia mengikuti jalan yang benar atau agar ia takut kepada-Ku 
(Q.S. Al Hujarat : 13)

"Dan Alloh (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Alloh memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Alloh adalah Maha mendengar lagi Maha melihat"
(An Nisa: 58)

Artinya kaidah pertama yang harus ditegakkan dalam menasehati adalah dengan cara yang baik (ma'ruf).
Cara yang baik ini tidak dinisbatkan kepada kebaikan menurut diri sendiri namun kebaikan menurut Alloh karena memang tidak ada kebaikan selain kita bernisbat kepada Alloh dan Rasul-Nya sehingga nasehat tersebut tidak menyimpang dan justru menjadi kesalahan.

"Aisyah radliyallahu ‘anha, beliau berkata: “Tidaklah Nabiyullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika diberi dua pilihan melainkan beliau memilih yang paling mudah dari keduanya selama tidak mengandung dosa. Apabila mengandung dosa maka beliau menjauhkan diri dari keduanya. Demi Alloh, beliau tidak pernah marah karena hal yang dilakukan terhadapnya kecuali jika pengharaman Alloh dilanggar maka beliau marah karena Alloh” (HR. Bukhari)

2. MENASEHATI DENGAN LANDASAN IKHLAS KARENA ALLOH
Sebagai Muslim hendaknya ketika melakukan kritikan, tanggapan, menasehati itu dilandasi dengan  mengharapkan Wajah Allah ta’ala , dia tidak boleh melancarkan kritikan dan bantahan dengan  tujuan menonjolkan diri, tidak pula mencari popularitas dan membalas dendam. Jangan sampai kita mengritik karena termotivasi oleh hasad (kedengkian) atau berbagai tendensi tertentu namun hendaknya yang memotivasinya dalam mengritik adalah untuk menampakkan kebenaran dan menjelaskan kesalahan yang ditopang keinginan memperoleh Ridha dari Alloh Subhanawata'ala.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Wajib bagi setiap orang yang memerintahkan kebaikan dan mengingkari kemungkaran itu ikhlas dalam tindakannya dan menyadari bahwa tindakannya tersebut adalah ketaatan kepada Alloh. Dia berniat untuk memperbaiki kondisi orang lain dan menegakkan hujjah atasnya bukan untuk mencari kedudukan bagi diri dan kelompok, tidak pula untuk melecehkan orang lain”

3. MENASEHATI DENGAN ILMU BUKAN DENGAN PENDAPAT PRIBADI
Banyak terjadi diantara kita yang menyampaikan kritik tanpa ilmu sehingga keluarlah umpatan dan cemoohan yang sama sekali tidak berlandaskan ilmu bahkan jusru hal ini dilakukan diatas al-ahwa yang menyerupai perilaku syetan. 
Hendaknya didalam mengkritik diterapkan metode yang baik dengan memilah beberapa hal, mulailah menganalisa dengan adil,tentu tidak pantas dengan disertai hujatan karena setiap orang bisa saja melakukan kesalahan yang sama dan tidak mau diperlakukan demikian pula. cukup dengan menyampaikan bahwa masih ada beberapa hal yg perlu dibenahi dari sisi ini dan itu, tunjukkan pelurusannya tanpa menghinakan karena jika kita menghujatnya pun kita tidak memiliki landasan yang membenarkan hujatan tersebut dan justru berlebih-lebihan dan tidak adil.

4. MENASEHATI DENGAN BAYYIN (YANG JELAS) TANPA SU'UDHAN (PRASANGKA BURUK)
Nasehat atau kritik hendaknya disampaikan dengan dhan yang baik sehingga tidak menghakimi sesuatu yang tidak terlihat ihwalnya.
Misalkan kita mendapati sebuah statemen seseorang yang mengatakan "Saya akan berusaha untuk lebih baik di kemudian hari" lalu ada yang mengomentari bahwa dia telah berbohong atas ucapannya tersebut, sedangkan tidak terbukti secara dhahir kebohongan tersebut maka hal ini sangat dilarang didalam Islam karena masuk kepada fitnah.
Jika memang tidak bisa diketahui maka lebih baik diam dan berlepas diri dari memberikan tanggapan karena kita tidak boleh mengatakan sesuatu yang tidak diketahui sehingga berlaku hasut dan melakukan fitnah. 
Kita hanya wajib menasehati kesalahan yang dhahir terlihat sedangkan yang tidak terlihat (batin) maka ini adalah urusan Alloh dan bukan urusan kita.

5. KRITIK DILAKUKAN SECARA HIKMAH DAN PROPORSIONAL
Tidak semua kritik atau nasehat bisa dilakukan dengan terang-terangan dan juga tidak selalu nasehat harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi, hal ini berkaitan dengan situasi dan kondisi. 
Seorang kritikus perlu bersikap hikmah, sehingga dia mampu menempuh metode yang paling tepat sesuai kondisi pihak yang dikritik. Jika kesalahan tersebut dipublikasikan secara terang-terangan secara luas maka dalam kondisi demikian bantahan dapat dilancarkan dengan terang-terangan pula.
Namun apabila kesalahan tersebut bersifat personal maka hendaknya pengritik membantah dan mengingatkannya empat mata tanpa perlu dipublikasikan.

6. MENGHUKUMI PERKATAAN ATAU PERBUATAN BUKAN PERSONAL
Ketika kita menasehati atau mengritik seseorang hendaknya bukan kepada vonis personalnya namun pada perkataan dan perbuatannya.
Intinya kita hanya mengritisi kesalahannya baik perkataan atau perbuatannya bukan pribadinya sebelum jelas perkara yang mendasari kita untuk memberikan vonis pribadinya.

#dariberbagaisumber#



Komentar

Postingan Populer