Hukum Hadiah Dari Penghutang Kepada Pemberi Hutang
Saling memberi hadiah pada asalnya adalah perbuatan yang dianjurkan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
تهادُوا تحابُّوا
“Hendaknya kalian saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai” (HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad no. 462, dihasankan Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad).
Demikian juga menerima hadiah hukumnya dianjurkan bahwa wajib menurut sebagian ulama. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من صنع إليكم معروفاً فكافئوه، فإن لم تجدوا ما تكافئونه فأدعوا له حتى تروا أنكم قد كافئتموه
“Siapa saja yang memberikan sesuatu kebaikan padamu, maka balaslah yang sepadan. Jika kalian tidak memiliki sesuatu yang dapat membalasnya dengan sepadan, maka doakanlah ia hingga engkau memandang bahwa doamu tersebut sudah sepadan dengan pemberiannya“.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan:
قبول الهدية من هدي النبي صلى الله عليه وسلم، حتى إن بعض أهل العلم قالوا: يجب قبول الهدية إذا تمت الشروط
“Menerima hadiah itu termasuk akhlak yang diajarkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa menerima hadiah itu wajib jika terpenuhi syarat-syaratnya.
disebutkan para ulama khilaf dalam empat pendapat :
1.Pendapat ulama hanafiyah
Penghutang boleh memberikan hadiah kepada pemberi hutang namun jika diketahui bahwa penghutang memberi hadiah liajlil qardh (karena sebab hutangnya) maka yang lebih utama adalah bersikap wara‘ dengan tidak menerimanya.
Adapun jika diketahui bahwa hadiah tersebut diberikan bukan karena sebab hutangnya namun karena sedekah atau karena adanya kekerabatan di antara keduanya maka tidak perlu bersikap wara‘ dan hendaknya diambil hadiahnya.
2.Pendapat ulama malikiyyah
Penghutang tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi hutang karena berharap tempo pembayaran hutangnya ditunda.
Pemberi hutang diharamkan menerima hadiah darinya jika diketahui tujuannya adalah demikian.
Jika hadiahnya sudah diterima maka wajib mengembalikannya.
Jika hadiahnya sudah terpakai atau sudah habis maka wajib mengembalikan yang semisal nilainya.
Namun jika penghutang dalam memberikan hadiah tidak berharap penundaan tempo maka ia boleh memberi hadiah.
3.Pendapat ulama syafi'iyyah
Penghutang boleh secara mutlak memberikan hadiah kepada pemberi hutang tanpa syarat.
4.Pendapat ulama hanabilah
Penghutang tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi hutang sebelum pelunasan kecuali hadiah tersebut dihitung sebagai cicilan atau pelunasan hutang.
Atau jika telah ada kebiasaan saling memberi hadiah antara keduanya di masa-masa sebelumnya maka boleh memberi hadiah ketika itu.
Adapun jika hadiah diberikan setelah pelunasan maka ini dibolehkan tanpa syarat.
Demikian pendapat para ulama dalam hal ini.
Diriwayatkan dari sebagian sahabat Nabi bahwa mereka menolak hadiah dari orang yang berhutang kepadanya kecuali hadiah tersebut dianggap sebagai bagian dari pelunasan hutang atau diketahui hadiah yang diberikan tersebut merupakan kebiasaan dan bukan bermaksud risywah (sogokan)
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ قال : أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَقَالَ لِي : إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا
“Dari Abu Burdah, ia berkata: suatu kala saya datang di kota Madinah dan saya bertemu dengan Abdullah bin Salam radhiallahu’anhu.
Kemudian beliau mengatakan kepadaku “Sesungguhnya Anda di negeri yang telah marak riba.Jika ada seseorang mempunyai hutang kepadamu lalu ia memberikan hadiah kepadamu dengan membawakan hasil bumi atau gandum atau membawa rumput makanan hewan ternak. Jangan Anda mengambilnya karena itu riba” (HR. Al-Bukhari no. 3814).
ورَوَى ابْنُ سِيرِينَ أَنَّ عُمَرَ رضي الله عنه أَسْلَفَ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رضي الله عنه عَشَرَةَ آلافِ دِرْهَمٍ , فَأَهْدَى إلَيْهِ أُبَيّ بْنُ كَعْبٍ مِنْ ثَمَرَةِ أَرْضِهِ , فَرَدَّهَا عَلَيْهِ , وَلَمْ يَقْبَلْهَا , فَأَتَاهُ أُبَيٍّ , فَقَالَ : لَقَدْ عَلِمَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ أَنِّي مِنْ أَطْيَبِهِمْ ثَمَرَةً , وَأَنَّهُ لا حَاجَةَ لَنَا , فَبِمَ مَنَعْتَ هَدِيَّتَنَا ؟ ثُمَّ أَهْدَى إلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ فَقَبِلَ
“Diriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwa Umar bin Khathab meminjamkan uang kepada Ubay bin Ka’ab sebesar sepuluh ribu dirham. Kemudian Ubay bin Ka’ab memberi hadiah kepadanya dari hasil panen buah-buahannya. Namun Umar menolaknya dan tidak menerimanya. Kemudian Ubay mendatangi Umar dan mengatakan, ‘Sungguh penduduk Madinah sudah tahu bahwa buah-buahan saya termasuk yang terbaik dan kami tidak ada keperluan bagi saya (untuk melakukan risywah). Kenapa Anda menolak hadiah kami wahai Umar?’ Kemudian setelah itu Ubay memberi hadiah lagi kepada Umar dan Umar menerimanya” (dinukil dari Hasyiyah Ibnul Qayyim Ala Sunan Abi Dawud, 9/296).
Ibnul Qayyim setelah membawakan riwayat-riwayat di atas, beliau menjelaskan:
فَكَانَ رَدّ عُمَر لَمَّا تَوَهَّمَ أَنْ تَكُون هَدِيَّته بِسَبَبِ الْقَرْض فَلَمَّا تَيَقَّنَ أَنَّهَا لَيْسَتْ بِسَبَبِ الْقَرْض قَبِلَهَا وَهَذَا فَصْل النِّزَاع فِي مَسْأَلَة هَدِيَّة الْمُقْتَرِض
“Umar menolak hadiah dari Ubay karena beliau menyangka hadiah tersebut diberikan karena sebab hutang yang ia berikan kepada Ubay. Namun ketika ia yakin hadiah tersebut bukan karena sebab hutang, beliau menerima hadiah tersebut. Maka inilah patokan utama dari masalah hadiah dari penghutang kepada yang menghutangi” (Hasyiyah Ibnul Qayyim Ala Sunan Abi Dawud, 9/296).
Maka wallahu a’lam, pendapat yang lebih tepat karena didukung oleh pendapat dan perbuatan salafus shalih adalah pendapat yang keempat.
Yaitu penghutang tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi hutang sebelum pelunasan kecuali hadiah tersebut dihitung sebagai cicilan atau pelunasan hutang.
Atau jika telah ada kebiasaan saling memberi hadiah antara keduanya di masa-masa sebelumnya atau diyakini hadiah tersebut bukan dimaksudkan sebagai tambahan pengembalian (riba) atau untuk menunda tempo pembayaran hutang (risywah) maka boleh memberi hadiah ketika itu.
Jika tidak diketahui maksud pemberi hadiah apakah ia memberikannya karena sebab hutang ataukah bukan atau ragu-ragu antara keduanya maka yang lebih wara’ dan lebih utama adalah menolaknya.
Dan yang lebih aman dan selamat adalah memberikan hadiah ketika pelunasan atau setelah pelunasan.
Asy-Syaukani mengatakan:
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِغَرَضٍ أَصْلًا فَالظَّاهِرُ الْمَنْعُ لِإِطْلَاقِ النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَّا الزِّيَادَةُ عَلَى مِقْدَارِ الدَّيْنِ عِنْدَ الْقَضَاءِ بِغَيْرِ شَرْطٍ وَلَا إضْمَارٍ فَالظَّاهِرُ الْجَوَازُ مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ الزِّيَادَةِ فِي الصِّفَةِ وَالْمِقْدَارِ وَالْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي رَافِعٍ وَالْعِرْبَاضِ وَجَابِرٍ، بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ
“Jika hadiah tersebut diberikan tidak untuk suatu tujuan yang diketahui maka pendapat yang tepat adalah hal ini terlarang karena larangan dalam masalah ini sifatnya mutlak. Adapun tambahan yang diberikan ketika pelunasan yang tidak disyaratkan sebelumnya dan tanpa ada kesepakatan sebelumnya maka yang tepat ini dibolehkan.Baik berupa tambahan dalam sifatnya atau kadarnya, baik tambahannya sedikit atau banyak. Berdasarkan hadits Abu Hurairah, Abu Rafi’, Al Irbadh dan Jabir (tentang melebihkan pelunasan hutang). Bahkan ini mustahab (dianjurkan)” (Nailul Authar, 5/275).
Wallahu ta’ala a’lam.
***
Referensi utama:
Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid, https://islamqa.info/ar/49015Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id
Komentar
Posting Komentar