ANAKKU BIASA SAJA By : Wulan Darmanto
Pagi ini saya terdiam lama saat ada teman yang mengupload nilai rapor anaknya. Betapa cerdas anak kawan ini. Empat mata pelajaran mendapat nilai sempurna, 100. Dan sisanya 90 lebih.
Kira-kira apa yang dirasakan oleh ibu dari anak-anak yang berprestasi ini ya?
Saya jadi ingat saat suatu sore, ketika saya sedang memotong sayuran di dapur, Kaisar (10 tahun) sulung kami, merapat ke lengan saya. Nggelendot.
“Bun tahu Faras nggak? Kenapa dia pinter banget ya bun..”
Saya masih berkonsentrasi pada sayuran di tangan, tidak memusatkan perhatian padanya, atau melingkarkan lengan di bahunya.
“Faras yang rumahnya di blok sana itu? pinter ya dia?”
“Iya bun. Saking pinternya, kalo ada lomba apa-apa, selalu Faras yang dikirim..”
Kali ini saya merasa perlu untuk menghentikan kegiatan memotong.
“Pinter itu gimana sih Kai?” tanya saya, mengangkat dagunya yang ditekuk serendah mungkin.
“Ya kalo di kelas dia tuh selalu paling duluan ngerjain soal. Matematika dia jago bun, seratus mulu. Pokoknya alim deh bun, kemana-mana bawanya buku..”
“Nggak kaya kamu ya Kai, kemana-mana bawanya raket.” Canda saya.
Dan candaan ini masih saya teruskan dengan kalimat yang sebenarnya bisa saja melukai perasaannya. Dengan dia menceritakan kehebatan Faras kepada ibunya, sejatinya dia sedang insecure kan dengan ‘kehebatan’ yang dia punya? Tapi saya malah menambah-nambahi deritanya.
“Makanya, kalo belajar jangan ngeluh mulu. Baru ngerjain soal matematika dua biji aja udah bilang capek.”
Kaisar diam. Dan beralih ke adik bungsunya.
“Bun mau mandi? Sini adek kujagain..”
Saya melihat kakak beradik ini dengan hati sedih. Ya Allah, apa yang barusan saya lakukan padanya? Ia sebenarnya ingin ditenangkan hatinya. Ingin dibilang “Nggak papa matematika nggak 100. Yang penting kamu sudah berusaha..” tapi lihatlah apa yang barusan saya ucapkan padanya.
“Bun adek kugendong aja ya kuajak ke luar biar diem. Nggak usah pake jarik aku kuat kok.”
Kaisar..
Anak ini, adalah anak yang selalu takjub dengan kawannya yang ‘hebat’.
Yang ranking 1, yang menang lomba ini itu dan diundang ke sana-sini, yang pintar berhitung, yang disenangi guru-guru. Yang semua itu tidak ia punyai.
Kalau sedang waras, sebagai ibunya, saya pandai sekali menelisik dan melihat, bahwa meski secara akademis biasa-biasa saja, ia punya kehebatan lain yang sebenarnya layak dibanggakan juga. Kai selalu mentaaati perintah ibunya, sesulit apa pun keadaan dia (meski dalam hati ngedumel. Ya.. saat seusia dia pun saya menggerutu saat disuruh ibu membeli minyak tanah di warung sebelah)
Tapi kalau kewarasan sudah hilang, hati saya yang sombong ini akan berkata: ‘Dulu aku sering ranking 1, kuliah juga jadi lulusan terbaik dengan predikat cum laude. Kenapa anakku biasa aja?’
Saya pernah sharing dengan kawan baik saya. Yang adalah manusia cerdas, dan nilai akademisnya jangan ditanya. Ia bilang, kalau bisa anaknya jangan sampai mengikuti jejaknya. Selalu ranking 1 dan penuh prestasi.
“Kamu tahu nggak susahnya jadi anak berprestasi? Stress lho. Aku takut mengecewakan orangtua. Jadi kalo nilaiku turun sedikit aja, aku kaya orang depresi.”
Wah ini menarik. Saat orang lain setengah mati ngidam anak berprestasi, kok orang ini malah anomali.
“Dengan anakku bukan juara kelas, dia terjaga dari stress. Dari kehilangan kerendahan hati. Aku juga terjaga dari ujub. Dan bisa menggali minat bakat dia yang lain..”
Ah ya… bisa jadi ini hanya kalimat ‘pembenaran’ dari seorang ibu yang anaknya tidak berprestasi. Sama seperti orang gemuk yang sebenarnya ingin kurus, tapi selalu bilang ‘Ah aku lebih senang badan segini, dilihat lebih seger..’ padahal dia sendiri depresi dengan bentuk tubuhnya.
Tapi saya kenal betul siapa kawan baik saya ini. Apa yang ia bilang, itulah yang benar-benar sedang ia pikirkan.
Dan bahaya ujub dari kepemilikan terhadap anak berprestasi? Ah.. di era sosmed ini siapa sih yang tidak tergoda untuk menyombongkan diri..
“Wes to, anak itu nggak ada yang biasa. Semua luar biasa. Titan-mu itu, luar biasa. Kan cuma dia to, anak kelas 2 yang sudah dikenal semua guru di sekolah karena ulahnya? Lho ini luar biasa…” guraunya. Menyentak batin saya.
Saya selalu tidak adil dalam menilai anak-anak. fokus pada kekurangannya, lupa pada kebaikan yang entah mengapa tidak ada nilainya di mata saya.
Pada Titan, saya selalu mengeluhkan tingkah polahnya. Lupa bahwa anak ini sangat mudah beradaptasi, sangat pemberani. Hal yang tidak dimiliki Kaisar.
Pada Kaisar, saya selalu mengeluhkan sifatnya yang sensitif, yang ‘lemah’, lupa bahwa dia selalu ingin menyenangkan hati saya. Asisten momong yang bisa saya percaya.
Mereka, anak-anak kita itu, menerima kita begitu saja. tanpa ada cela apa-apa.
Meski ibunya gendut, meski jerawatan, meski bau badan, meski cerewet, meski tidak pintar, mereka menerima dan sayang pada ibunya.
Tapi lihatlah apa yang sudah saya perbuat pada anak-anak yang ‘biasa-biasa saja’ ini 😰
Anak pintar, adalah berkah Alloh untuk orangtuanya.
Anak yang biasa-biasa saja, sebenarnya pun berkah Alloh untuk orangtuanya juga.
Sayangnya, karunia hanya dimaknai ketika anak dapat emas permata dan piala. Bukan tembaga.
Komentar
Posting Komentar